Senin, 02 Juni 2014

Nurngudiono ; Mempertahankan Eksistensi Seni Pesisir

Pak Nurngudiono (53 tahun) adalah seorang kelahiran Tegal, Jawa Tengah pada tanggal 11 September 1961. Beliau lahir, tumbuh, dan besar di lingkungan pesisir. Hal itu yang membuat beliau bertekad untuk menjaga, mempertahankan, dan mengembangkan kesenian di pesisir. Beliau mendirikan sejumlah kelompok kesenian pesisir, antara lain Kelompok Musik Sastra Warung Tegal (KMSWT), kelompok kesenian balo-balo, serta kelompok sandiwara Sampak Tegalan. Beliau mewarisi darah seni dari kakeknya, mendiang Mukhlas, yang dulunya berprofesi sebagai Gerong (pesinden laki-laki). Saat di bangku sekolah dasar, pak Nurngudiono aktif mendalami tari klasik. Beliau mahir menarikan berbagai tarian Jawa hingga duduk di bangku sekolah pendidikan guru (SPG). Saat duduk di bangku kelas II SPG (sekitar 1978-1979), pak Nurngudiono bersama beberapa teman sekolah mendirikan teater Anak Pesisir (Anpes). Dalam kelompok teater tersebut, selain sebagai pemain, beliau juga kerap menjadi penata musik. Dari sini munculah keinginannya untuk membuat musik pesisir. Selulus SPG pada tahun 1980, dia bekerja sebagai seorang guru sekolah dasar. Namun, di sela-sela aktivitasnya sebagai guru, dia tetap mengembangkan kesenian pesisir, terutama musik pesisir.

Pada tahun 1981, pak Nurngudiono membentuk kelompok musik Tegal yang bernama Ngisoran, dengan anggota sekitar 20 orang yang merupakan teman sekolah, teman bermain, dan nelayan di lingkungannya. Dalam membuat musik pesisir, pak Nurngudiono menggabungkannya dengan genre musik lain, seperti pop misalnya. Beliau juga menambahkan alat musik lain seperti gitar. Tahun 1996 beliau mendirikan KMSWT sebagai pengganti kelompok Ngisoran. KMSWT bertahan hingga saat ini dengan anggota sekitar 19 orang. KMSWT juga sudah pernah pentas di berbagai kota di Indonesia. Dalam mempertahankan seni pesisir, pak Nurngudiono juga berupaya menjaga eksistensi musik balo-balo, musik khas Tegal. Kini, pak Nurngudiono bergabung dalam beberapa kelompok musik balo-balo, antara lain balo-balo eksekutif dan balo-balo istiqomah.

Pak Nurngudiono bersama seniman tari Tegal, Wahyu Ranggati, juga menciptakan tarian pesisir yang berkisah mengenai kehidupan masyarakat pesisir. Tari pesisir yang beliau ciptakan antara lain adalah tari Gagak Maritim yang berkisah tentang istri nelayan yang sedang menunggu suami pulang dari melaut atau panen ikan. Tarian tersebut sudah beberapa kali dipentaskan, baik di perhelatan lokal maupun nasional, termasuk di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Pak Nurngudiono juga mengembangkan kesenian pesisir dalam kelompok sandiwara Sampak Tagelan. Lewat kelompok sandiwara tersebut, dia mengangkat tradisi lokal Tegal dan legenda-legenda setempat sebagai cerita yang dimainkan.

Bagi pak Nurngudiono, berkesenian untuk menjaga keberadaan seni pesisir adalah suatu panggilan jiwa. Mendapat uang atau tidak dari usahany tersebut, beliau tetap akan menghasilkan karya seni pesisir. Kini beliau dan teman-teman seniman lain membangun kesenian pesisir dalam lingkungan sederhana di kawasan wisata Pantai Indah Alam (PAI), yang dinamakan kampung seni PAI. Sejak 1 Mei 2013, pak Nurngudiono mengajukan pensiun dini sebagai PNS guru sekolah dasar karena tangan kanannya tak berfungsi sempurna setelah kecelakaan yang dia alami. Selain itu, beliau juga ingin fokus mengembangkan kesenian pesisir agar identitas tumpah darahnya tak hilang. Beruntung, pak Nurngudiono mendapat dukungan penuh dari sang istri, Sunarti. Wanita yang juga seniman tari dan penyanyi ini selalu setia menemani aktivitas seni pak Nurngudiono, dalam berbagai kondisi.


(Sumber: Koran Kompas edisi hari Rabu, 14 Mei 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar